Kamis, 18 Maret 2010

Langkah-Langkah Pengembangan Multimedia Interaktif Relativitas Khusus

Pengembangan multimedia interaktif relativitas khusus mengikuti langkah-langkah sebagai berikut :
1. Membuat analisis konsep
Analisis konsep dibuat untuk memberikan gambaran tentang konsep-konsep yang terkandung dalam materi relativitas khusus. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada materi relativitas khusus yang di bahas dalam penelitian ini terdiri dari sepuluh konsep/label konsep yaitu konsep relativitas Newton, transformasi Galileo, teori eter, relativitas Einstein, transformasi Lorentz, waktu relativistik, panjang relativistik, massa relativistik, energi relativistik dan momentum relativistik. Dari konsep diatas terdapat 5 konsep yang bersifat abstrak dan 5 konsep yang menyatakan nama, atribut, sifat.
2. Membuat peta konsep
Peta konsep dibuat berdasarkan analisis konsep yang telah dibuat. Peta konsep memberikan gambaran hubungan antar konsep dalam meteri relativitas khusus.
3. Mengembangkan indikator keterampilan berpikir kritis
Pengembangan indikator berpikir kritis disesuaikan dengan karakter masing-masing konsep yang telah dianalisis. Berdasarkan hasil penelitian indikator yang dapat dikembangkan pada materi relativitas khusus meliputi mengidentifikasi hal yang relevan, mendefinisikan materi subyek, menggunakan strategi logis, menemukan persamaan dan perbedaan, melaporkan berdasarkan pengamatan.
4. Membuata storyboard
Storyboard atau papan kerja merupakan bagian penting dalam pengembangan multimedia interaktif ini. Storyboard berisi tentang tampilan tiap-tiap scene serta navigasinya.
5. Validasi
Validasi dilakukan untuk memvalidasi konten materi subyek relativitas khusus dan memvalidasi tampilan multimedia interaktif. Validasi konten dilakukan oleh pakar fisika modern dan validasi multimedia dilakukan oleh pakar multimedia.
6. Implementasi di sekolah
Implementasi di sekolah dilakukan untuk melihat keterlaksanaan multimedia interaktif dalam mengembangkan keterampilan generik sains. Pelaksanaan pembelajaran di sekolah dilaksanakan selama 7 kali pertemuan yang terdiri dari 1 kali tes awal, 5 kali pembelajaran dan 1 kali tes akhir.

Sabtu, 27 Februari 2010

Penggunaan Multimedia Dalam Pembelajaran

Dalam dunia pendidikan, aplikasi multimedia berfungsi sebagai perangkat lunak (sofware) pembelajaran, yang memberikan fasilitas kepada siswa untuk mempelajari suatu materi. Penggunaan multimedia dalam pembelajaran pembelajaran memiliki beberapa keistimewaan menurut Munir (2008) antara lain (1) menyediakan proses interaktif dan memberikan kemudahan umpan balik, (2) memberikan kebebasan kepada peserta didik dalam menentukan topik pembelajaran dan, (3) memberikan kemudahan kontrol yang sistematis dalam proses pembelajaran.
Pembelajaran dengan multimedia (komputer) akan memberikan motivasi yang lebih tinggi karena komputer selalu dikaitkan dengan kesenangan, permainan, dan kreativitas. Hal ini dikarenakan komputer memiliki sejumlah kemampuan dan kelebihan. menurut Heinich (1996) dalam Karyadinata (2006) beberapa kelebihan komputer sebagai sarana/media pembelajaran antara lain (1) siswa dapat belajar sesuai kemampuan dan kecepatannya masing-masing dalam memahami pengetahuan dan informasi yang ditampilkan; (2) aktivitas belajar siswa dapat terkontrol; (3) siswa mendapat fasilitas untuk mengulang jika diperlukan, dimana dalam pengulangan tersebut siswa bebas mengembangkan kreativitasnya; (4) siswa dibantu untuk memperoleh umpan balik (feed back) dengan segera; (5) tercipta iklim belajar yang efektif bagi siswa yang lambat (slow learner), tetapi juga dapat memacu efektivitas belajar bagi siswa yang lebih cepat (fast learner); (6) pemberian umpan balik (feed back) dan penguatan (reinforcement) terhadap hasil belajar dapat diprogram; (7) pemeriksaan dan pemberian skor hasil belajar secara otomatis dapat diprogram; (8) memberikan sarana bagi siswa untuk melakukan kegiatan tertentu dapat dirancang; (9) informasi dan pengetahuan dengan tingkat realisme yang tinggi dapat disampaikan karena kemampuannya mengintegrasikan komponen warna, musik, animasi, dan grafik.
Disamping memiliki kelebihan, komputer sebagai sarana/media dalam pembelajaran juga memiliki kelemahan yang diantaranya (1) tingginya biaya pengadaan dan pengembangan program komputer, terutama yang dirancang khusus untuk maksud pembelajaran, (2) pengadaaan, pemeliharaan dan perawatan komponen komputer yang meliputi hardware dan software memerlukan biaya yang relatif tinggi untuk jangka pendek; (3) merancang dan memproduksi program pembelajaran berbasis komputer merupakan pekerjaan yang tidak mudah. Memproduksi program komputer merupakan kegitan intensif yang memerlukan waktu banyak dan juga keahlian khusus. Penggunaan sebuah program komputer memerlukan perangkat keras dengan spesifikasi yang sesuai. Perangkat lunak sebuah komputer seringkali tidak dapat digunakan pada komputer yang spesifikasinya tidak sama (Iksanuddin, 2007).
Multimedia interaktif yang terdiri dari presentasi dalam bentuk teks, audio, grafik, animasi dan simulasi interaktif mampu mengadaptasi perbedaan cara belajar siswa sehingga mereka belajar dalam lingkungan yang menyenangkan. Visualisasi yang disajikan memungkinkan siswa melakukan navigasi, berinteraksi, berkreasi dan berkomunikasi dengan menghubungkan panca indera mereka dengan antusias sehingga informasi yang masuk ke bank memorinya lebih tahan lama dan mudah untuk dipanggil pada saat informasi tersebut digunakan. Pemrosesan informasi dalam pembentukan konsep akan mudah dipanggil apabila tersimpan dalam memori jangka panjang terutama dalam bentuk gambar (Matlin, 1994).

Rabu, 13 Januari 2010

PEMBINAAN PROFESIONALISME GURU IPA

PENDAHULUAN
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan Pemerintah Republik Indonesia untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Selain itu, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 juga mengamanatkan Pemerintah untuk mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang bertujuan meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat. Untuk mengemban amanat tersebut, ditetapkanlah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Sistem pendidikan nasional dimaksudkan untuk menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, meningkatkan mutu dan relevansi pendidikan, serta efisiensi manajemen pendidikan untuk menghadapi tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global. Dalam rangka peningkatan mutu pendidikan, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan menetapkan delapan standar nasional pendidikan yang harus menjadi acuan sekaligus kriteria dalam menetapkan keberhasilan penyelenggaran pendidikan nasional. Delapan standar nasional pendidikan yang dimaksud meliputi standar isi, standar proses, standar kompetensi lulusan, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar penilaian pendidikan.
Salah satu standar yang berkaitan langsung dengan keberhasilan penyelenggaraan pendidikan adalah standar pendidik dan tenaga kependidikan, khususnya guru. Guru sebagai tenaga profesional bertugas mewujudkan tujuan pendidikan nasional, yaitu berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Dalam rangka mewujudkan tujuan pendidikan nasional tersebut, guru sebagai tenaga profesional wajib memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi, serta sehat jasmani dan rohani, sebagaimana yang diamanatkan oleh Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Kualifikasi akademik untuk guru adalah tingkat pendidikan minimal yang harus dipenuhi oleh seorang guru yang dibuktikan dengan ijazah yang mencerminkan kemampuan akademik yang relevan dengan bidang tugas guru. Kompetensi guru adalah seperangkat pengetahuan, keterampilan, dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati, dan dikuasai oleh guru dalam melaksanakan tugas keprofesionalan. Standar kualifikasi akademik dan kompetensi guru telah ditetapkan dengan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 16 Tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru yang meliputi Guru TK/RA, Guru SD/MI,Guru SMP/MTs, Guru SMA/MA dan Guru SMK/MAK untuk kelompok mata pelajaran normatif dan adaptif.
Pencapaian standar kualifikasi akademik dan penguasaan kompetensi guru dibuktikan melalui sertifikat profesi guru yang diperoleh melalui program sertifikasi. Dengan kata lain, sertifikasi adalah proses untuk mengukur dan menilai pencapaian kualifikasi akademik dan kompetensi minimal yang dicapai oleh seorang guru. Guru profesional yang memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi yang memenuhi standar akan mampu mewujudkan pendidikan nasional yang bermutu. Oleh karena itu, program sertifikasi merupakan salah satu program utama untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional.

Mutu Pendidikan Nasional
Mutu pendidikan nasional yang tercermin dalam kompetensi lulusan satuan-satuan pendidikan dipengaruhi oleh berbagai komponen seperti proses, isi, pendidik dan tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian pendidikan. Mutu pendidikan dicerminkan oleh kompetensi lulusan yang dipengaruhi oleh kualitas proses dan isi pendidikan. Pencapaian kompetensi lulusan yang memenuhi standar harus didukung oleh isi dan proses pendidikan yang juga memenuhi standar. Perwujudan proses pendidikan yang berkualitas dipengaruhi oleh kinerja pendidik dan tenaga kependidikan, kualitas dan kuantitas sarana dan prasarana, kualitas pengelolaan, ketersediaan dana, dan sistem penilaian yang valid, obyektif dan tegas. Oleh karena itu perwujudan pendidikan nasional yang bermutu harus didukung oleh isi dan proses pendidikan yang memenuhi standar, pendidik dan tenaga kependidikan yang memenuhi standar kualifikasi akademik dan kompetensi agar berkinerja optimal, serta sarana dan prasarana, pengelolaan, dan pembiayaan yang memenuhi standar.
Kinerja pendidik dan tenaga kependidikan, khususnya guru, selain ditentukan oleh kualifikasi akademik dan kompetensi juga ditentukan oleh kesejahteraan, karena kesejahteraan yang memadai akan memberi motivasi kepada guru agar melakukan tugas profesionalnya secara sungguh-sungguh. Kesungguhan seorang guru dalam melaksanakan tugas profesionalnya akan sangat menentukan perwujudan pendidikan nasional yang bermutu, karena selain berfungsi sebagai pengelola kegiatan pembelajaran, guru juga berfungsi sebagai pembimbing kegiatan belajar peserta didik dan sekaligus sebagai teladan bagi peserta didiknya, baik di kelas maupun di lingkungan sekolah. Selain ditentukan oleh kinerja guru, upaya peningkatan mutu pendidikan nasional juga akan sangat ditentukan oleh pelaksanaan penilaian yang valid, obyektf dan tegas, baik penilaian oleh guru dan satuan pendidikan maupun penilaian oleh pemerintah. Khusus penilaian oleh guru dan satuan pendidikan mempunyai peran yang sangat penting dalam peningkatan mutu pendidikan, karena selain bertujuan untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan, juga bertujuan untuk meningkatkan motivasi belajar peserta didik dalam rangka memelihara kontinuitas proses belajar peserta didik.

Sertifikasi Profesi Guru dan Peningkatan Mutu Pendidikan
Jika kita mencermati Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, jelas bahwa undang-undang tersebut berintikan peningkatan kesejahteraan guru yang ditandai oleh adanya tunjangan khusus, tunjangan fungsional dan tunjangan profesi pendidik. Namun harus disadari bahwa peningkatan kesejahteraan guru yang diamanatkan oleh Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen bukan merupakan tujuan, tetapi lebih sebagai instrumen untuk meningkatkan kinerja guru agar berdampak terhadap peningkatan mutu pendidikan nasional.
Peningkatan kesejahteraan bagi guru yang telah memenuhi standar kualifikasi akademik dan kompetensi akan berfungsi meningkatkan kinerja, tetapi peningkatan kesejahteraan bagi guru yang kualifikasi akademik dan kompetensinya belum memenuhi standar sulit diharapkan untuk berdampak terhadap peningkatan kinerja sesuai yang diharapkan. Oleh karena itu, khusus untuk tunjangan profesi pendidik hanya akan diterima oleh guru profesional yang ditandai dengan kepemilikan sertifikat profesi guru melalui program sertifikasi. Melalui program sertifikasi guru, akan terbentuk guru profesional, yaitu guru yang minimal telah memenuhi standar kualifikasi akademik dan kompetensi dan kepada mereka akan diberi tunjangan profesi pendidik yang besarnya sama dengan satu kali gaji pokok, dan selanjutnya diharapkan bahwa mereka akan berkinerja optimal dan pada gilirannya akan mewujudkan pendidikan nasional yang bermutu.
Sebaliknya kesejahteraan yang diberikan kepada guru yang belum memenuhi standar kualifikasi akademik dan kompetensi, sulit untuk mewujudkan kinerja yang optimal dan selanjutnya juga tidak akan berdampak terhadap peningkatan mutu pendidikan nasional. Oleh karena itu memberikan tunjangan profesi pendidik sebagai salah satu komponen kesejahteraan kepada semua guru tanpa sertifikasi tidak akan berdampak terhadap peningkatan kinerja guru dan dengan sendirinya juga tidak akan berdampak terhadap peningkatan mutu pendidikan nasional.
Dari uraian tersebut jelas bahwa sertifikasi akan berdampak terhadap peningkatan kinerja guru dan selanjutnya berdampak terhadap peningkatan mutu pendidikan nasional apabila sertifikasi dapat dilakukan secara obyektif dan valid. Artinya sertifikat profesi guru hanya diberikan kepada guru yang telah memenuhi standar kualifikasi akademik dan benar-benar telah memiliki standar kompetensi atau kompetensi minimal yang disyaratkan, dan hal ini hanya akan terwujud apabila program sertifikasi dilakukan secara obyektif dan valid. Selain itu, sertifikasi juga harus berkeadilan, dalam arti prioritas kesempatan untuk mengikuti sertifikasi berdasarkan atas berbagai faktor yang merupakan indikator kualitas dan prestasi guru di lapangan, seperti kesenioran (usia, kualifikasi akademik, pengalaman akademik,kepangkatan), prestasi kerja sehari-hari yang dinilai oleh atasan dan teman sejawat, dan kinerja profesional yang diperlihatkan dalam pelaksanaan tugas sehari-hari. Dengan demikian mudah dipahami bahwa program sertifikasi yang dilaksanakan secara obyektif, valid dan berkeadilan akan berpengaruh positif terhadap peningkatan kinerja guru dan selanjutnya akan berpengaruh positif terhadap peningkatan mutu pendidikan nasional.

Guru Sebagai Jabatan Profesional
Dalam rangka pencapaian hasil dan proses pembelajaran seperti yang diharapkan, maka upaya pertama yang harus dilakukan adalah memposisikan guru sebagai pekerja yang profesional, mengapa demikian?. Sebab banyak orang termasuk guru sendiri yang meragukan bahwa jabatan guru merupakan jabatan profesional. Ada yang beranggapan bahwa setiap orang bisa menjadi guru. Si A, si B, atau siapa saja, walaupun mereka tidak memahami ilmu keguruan dapat saja dianggap sebagai guru, asalkan paham materi pelajaran yang akan diajarkannya. Apakah pandangan seperti itu benar?. Apabila mengajar dianggap hanya sebagai proses penyampaian materi pelajaran, pendapat semacam itu ada benarnya. Konsep mengajar yang demikian, tentunya sangat sederhana, yaitu asal paham informasi yang akan diajarkannya kepada siswa, maka ia dapat menjadi guru. Tetapi mengajar tidak sesederhana itu bukan?. Mengajar tidak sekedar menyampaikan materi pelajaran, akan tetapi suatu proses mengubah perilaku siswa sesuai dengan tujuan yang diharapkan. Oleh sebab itu dalam poses mengajar terdapat kegiatan membimbing, melatih keterampilan intelektual, keterampilan psikomotorik, dan memotivasi siswa agar memiliki kemampuan inovatif dan kreatif. Oleh karena itu seorang guru perlu memiliki kemampuan merancang dan mengimplementasikan berbagai strategi pembelajaran yang dianggap cocok dengan materi pembelajaran, termasuk di dalamnya memanfaatkan bebagai sumber dan media pembelajaran untuk menjamin efektifitas pembejaran. Dengan demikian, seorang guru perlu memiliki kemampuan khusus, yaitu kemampuan yang tidak mungkin dimiliki oleh orang lain yang bukan guru. “A teacher is person charged with the responbility of helping others to learn and to behave in new different ways” (Cooper, 1990). Itulah sebabnya guru adalah pekerjaan profesional yang membutuhkan kemampuan khusus hasil dari proses pendidikan yang dilaksanakan oleh Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK). Untuk meyakinkan bahwa guru sebagai pekerjaan profesional, marilah kita tinjau ciri-ciri pokok dari pekerjaan profesional :
(a) Pekerjaan profesional ditunjang oleh suatu ilmu tertentu secara mendalam yang hanya diperoleh dari lembaga-lembaga pendidikan yang sesuai, sehingga kinerjanya didasarkan kepada keilmuan yang dimilikinya. Seorang dokter, psikolog, saintis, ekonom, dan berbagai profesi lainnya dihasilkan dari lembaga-lembaga pendidikan yang relevan dengan profesi tersebut,
(b) Suatu profesi menekankan kepada suatu keahlian dalam bidang tertentu yang spesifik sesuai dengan jenis profesinya,
(c) Tingkat kemampuan dan keahlian suatu profesi didasarkan kepada latar belakang pendidikan yang dialaminya yang diakui oleh masyarakat, sehingga semakin tinggi latar belakang pendidikan akademik sesuai profesinya, semakin tinggi pula tingkat keahliannya.

Dari ketiga ciri perkerjaan profesional yang disebutkan di atas, lalu apa ciri-ciri guru yang profesional dan apa saja yang harus dibekali oleh Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan untuk menghasilkan calon-calon guru yang profesional? Berikut marilah kita simak ciri-ciri guru yang profesional. Ada tujuh komponen yang harus dimiliki seorang guru dalam menjalankan tugasnya sebagai guru yang profesional, yaitu :
a. Guru sebagai sumber belajar; Peran guru sebagai sumber belajar berkaitan erat dengan penguasaan materi pelajaran dengan baik dan benar. Guru yang profesional manakala ia dapat menguasai materi pelajaran dengan baik, sehingga benar-benar ia berperan sebagai sumber belajar bagi anak didiknya. Apapun yang ditanyakan siswa berkaitan dengan materi pelajaran yang diajarkannya, ia akan bisa menjawab dengan penuh keyakinan. Sebagai sumber belajar, guru harus memiliki bahan referensi yang lebih banyak dibandingkan dengan siswanya. Guru harus mampu menunjukkan sumber belajar yang dapat dipelajari oleh siswa yang biasanya memiliki kecepatan belajar di atas rata-rata siswa lainnya. Guru harus mampu melalukan pemetaan materi pelajaran, misalnya dengan menentukan materi inti (core), yang wajib dipelajari siswa, mana materi tambahan, dan mana materi yang diingat kembali karena pernah di bahas.
b. Guru sebagai fasilitator; Sebagai fasilitator guru guru berperan dalam memberikan pelayanan untuk memudahkan siswa dalam kegiatan proses pembelajaran. Agar dapat melaksanakan peran sebagai fasilitator, ada beberapa hal yang harus dipahami guru. Pertama, guru perlu memahami bebagai jenis media dan sumber belajar beserta fungsi masing-masing media tersebut. Pemahaman terhadap media penting, belum tentu suatu media cocok digunakan untuk mengajarkan semua bahan pelajaran. Kedua, guru perlu mempunyai ketrampilan dalam merancang suatu media. Kemampuan merancang media merupakan salah satu kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang guru profesional. Dengan merancang media yang cocok akan memudahkan proses pembelajaran, yang pada gilirannya tujuan pembelajaran akan tercapai secara optimal. Ketiga, guru dituntut untuk mampu mengorganisasikan berbagai jenis media serta dapat memanfaatkan sebagai sumber belajar, termasuk memanfaatkan teknologi informasi. Perkembangan tehnolgi informasi menuntut setiap guru untuk dapat mengikuti perkembangan teknologi mutakhir. Melalui teknologi informasi memungkinkan setiap guru bisa menggunakan berbagai pilihan media yang dianggap cocok. Keempat, sebagai fasilitator guru dituntut agar mempunyai kemampuan dalam berkomunikasi dan berinteraksi dengan siswa. Hal ini sangat penting, kemampuan berkomunikasi secara efektif dapat memudahkan siswa menangkap pesan sehingga dapat meningkatkan motivasi belajar mereka.
c. Guru sebagai pengelola; Sebagai pengelola pembelajaran (learning manager), guru berperan dalam menciptakan iklim belajar yang memungkinkan siswa dapat belajar secara nyaman. Melalui pengelolaan kelas yang baik guru dapat menjaga kelas agar tetap kondusif untuk terjadinya proses belajar seluruh siswa. Sebagai menager guru memiliki empat fungsi umum. Pertama, merencanakan tujuan belajar. Fungsi perencanaan merupakan fungsi yang sangat penting bagi seorang manajer. Kegiatan dalam melaksanakan fungsi perencanaan diantaranya memperkirakan tuntutan dan kebutuhan, menentukan tujuan, menulis silabus, menentukan topik yang akan dipelajari, mengalokasikan waktu, serta menentukan sumber yang diperlukan. Melalui fungsi ini guru berusaha menjembatani jurang dimana murid berada dan kemana mereka harus pergi. Keputusan semacam ini menuntut kemampuan berpikir kreatif dan imajinatif. Kedua, mengorganisasikan berbagai sumber belajar untuk mewujudkan tujuan belajar. Fungsi pengorganisasian melibatkan penciptaan secara sengaja suatu lingkungan pembelajaran yang kondusif serta melakukan pendelegasian tanggung jawab dalam rangka mewujutkan tujuan program pembelajaran yang telah direncanakan. Ketiga memimpin yang meliputi memotivasi, mendorong, dan menstimulasi siswa. Fungsi memimpin adalah fungsi yang bersifat pribadi yang melibatkan gaya tertentu. Tugas memimpin adalah berhubungan dengan membimbing, mendorong, dan mengawasi siswa sehingga mereka dapat mencapai tujuan yang telah ditentukan. Keempat mengawasi segala sesuatu apakah sudah berfungsi sebagaimana mestinya atau belum dalam rangka pencapaiaan tujuan. Fungsi mengawasi bertujuan untuk mengusahakan peristiwaperistiwa yang sesuai dengan rencana yang telah disusun. Dalam batas-batas tertentu fungsi pengawasan melibatkan pengambilan pengawasan yang terstruktur, walaupun proses tersebut sangat kompleks.
d. Guru sebagai demonstrator; Peran guru sebagai demonstrator adalah peran guru agar dapat mempertunjukkan kepada siswa segala sesuatu yang dapat membuat siswa lebih mengerti dan memahami setiap pesan yang disampaikan. Ada dua konteks guru sebagai demonstrator. Pertama, sebagai demonstrator berarti guru harus menunjukkan sifat-sifat terpuji dalam setiap aspek kehidupan, dan guru merupakan sosok ideal yang dapat diteladani siswa. Kedua, sebagai demonstrator guru harus dapat menunjukkan bagaimana caranya agar setiap materi pelajaran bisa lebih dipahami dan dihayati oleh setiap siswa.
e. Guru sebagai pembimbing; Seorang guru dan siswa seperti halnya petani dengan tanamannya. Seorang petani tidak bisa memaksa agar tanamannya cepat tumbuh dengan menarik batang atau daunnya. Tanaman itu akan berbuah manakala ia memiliki potensi untuk berbuah serta telah sampai pada waktunya untuk berbuah. Tugas seorang petani adalah menjaga agar tanamannya itu tumbuh dengan sempurna, tidak terkena hama dan penyakit yang bisa menyebabkan tanaman tidak berkembang dan tidak tumbuh dengan sehat, hingga tanaman menghasilkan buah. Demikian juga halnya seorang guru. Guru tidak dapat memaksa agar siswanya jadi “ini” atau jadi “itu”. Siswa akan tumbuh dan berkembang sesuai dengan kemampuannya. Tugas guru adalah menjaga, mengarahkan, dan membimbing agar siswa tumbuh dan berkembang sesuai dengan potensinya. Agar guru dapat berperan sebagai pembimbing, ada dua hal yang harus dimiliki. Pertama, guru harus memahami anak didik yang sedang dibimbingnya. Misalnya memahami tentang gaya dan kebiasaan belajarnya, memahami potensi dan bakatnya. Kedua, guru harus memahami dan terampil dalam merencanakan, baik merencanakan tujuan dan kompetensi yang akan dicapai, maupun merencanakan proses pembelajaran. Proses bimbingan akan dapat dilakukan dengan baik, manakala sebelumnya guru merencanakan hendak dibawa kemana siswanya, apa yang harus dilakukan, dan lain sebagainya.
f. Guru sebagai motivator; Dalam proses pembelajaran motivasi merupakan salah satu aspek dinamis yang sangat penting. Sering terjadi siswa yang kurang berprestasi bukan disebabkan oleh kurangnya kemampuan. Tetapi disebabkan oleh kurangnya motivasi untuk belajar. Oleh karena itu untuk memperoleh hasil belajar yang optimal, guru dituntut kreatif untuk dapat membangkitkan motivasi belajar siswa. Beberapa hal yang patut diperhatikan agar dapat membangkitkan motivasi belajar adalah sebagai berikut :
1. Memperjelas tujuan yang ingin dicapai,
2. membangkitkan minat siswa,
3. Menciptakan suasana belajar yang menyenangkan,
4. Memberi pujian yang wajar terhadap keberhasilan siswa,
5. Memberikan penilaian yang positif,
6. Memberi komentar tentang hasil pekerjaan siswa, dan
7. menciptakan persaingan dan kerjasama.
g. Guru sebagai evaluator; Sebagai evaluator, guru berperan untuk mengumpulkan data atau informasi tentang keberhasilan pembelajaran yang telah dilakukan. Evaluasi tidak hanya dilakukan terhadap hasil akhir pembelajaran (berupa nilai atau angka-angka) tetapi juga dilakukan terhadap proses, kinerja, dan skill siswa dalam proses pembelajaran. Kegiatan yang bertujuan untuk menilai keberhasilan siswa memegang peranan penting. Sebab melalui evaluasi guru dapat menentukan apakah siswa yang diajarkannya sudah memiliki kompetensi yang telah ditetapkan, sehingga mereka layak diberikan program pembelajaran baru; atau malah sebaliknya siswa belum bisa mencapai standar minimal, sehingga mereka perlu diberikan remedial. Sering guru beranggapan bahwa evaluasi sama dengan melakukan “tes”, artinya guru telah melakukan evaluasi manakala ia telah melakukan tes. Hal ini tentu kurang tepat, sebab evaluasi adalah suatu proses untuk menentukan nilai atau makna tertentu pada sesuatu yang dievaluasi. Dengan demikian tes hanya salah satu cara yang dapat dilakukan untuk menentukan makna tersebut. Kelemahan yang sering terjadi dengan pelaksanaan eveluasi selama ini adalah guru dalam menentukan keberhasilan siswa terbatas hanya pada hasil tes yang dilakukan secara tertulis. Akibatnya sasaran pembelajaran hanya terbatas pada kemampuan siswa untuk mengisi soalsoal yang biasa keluar dalam tes. Oleh karena itu evaluasi semestinya juga dilakukan terhadap proses pembelajaran. Hal ini sangat penting sebab evaluasi terhadap proses pembelajaran pada dasarnya evaluasi terhadap keterampilan intelektual secara nyata.

Untuk menghasilkan guru-guru yang profesional merupakan suatu tugas berat yang harus diemban oleh Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) sebagai lembaga yang perperan dalam mempersiapkan tenaga guru, dalam hal ini dilakukan oleh tenaga-tenaga ahli (dosen) yang profesional juga. Dalam mempersiapkan calon guru yang profesional ke depan disarankan bahwa kegiatan perkuliahan yang membekali para calon guru, harus menunjukkan beberapa kriteria pembelajaran yang relevan bagi profesi guru, yaitu (1) Calon guru perlu dipersiapkan untuk mengajar dengan strategi yang tepat, mampu merencanakan dan melaksanakan pembelajaran, dan mampu mengevaluasi hasil pembelajaran, (2) Perkuliahan lebih efektif bila ditanamkan pengalaman belajar seperti menggali dan mengolah informasi, bukan memberi informasi, (3) Para dosen perlu mengembangkan ketrampilan bertanya yang dirancang untuk membantu para calon guru untuk berpikir kritis mengenai materi yang dipelajari, dan membangkitkan kemampuan calon guru untuk dapat mengajukan pertanyaan-pertanyaan, (4) strategi perkuliahan bagi calon guru perlu diarahkan untuk membangun kesadaran terhadap kesulitan-kesulitan konsepsi, melatih keterampilan, dan menumbuhkan sikap ingin tahu.
Kita harus menyadari bahwa apapun yang diperoleh dan dialami oleh calon guru selama dipersiapkan di Lembaga pendidikan guru (pre-service) cenderung akan berbekas dan akan ditiru dalam menjalankan tugasnya sebagai seorang guru kelak. Pembekalan kompetensi dan profesionalisme guru pada tingkat pre-service (di LPTK) merupakan sebagai landasan yang harus dimiliki oleh seorang guru. Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, profesi guru perlu terus ditingkakan melalui kegiaan pembinaan profesi yang dilaksanakan oleh berbagai unsur pada berbagai tingkatan. Semua unsur yang terlibat pembinaan bermuara pada kompetensi guru dalam kapasitasnya sebagai pengelola/pelaksana proses pembelajaran.
Unsur Pembina profesional guru berasal dari tingkat pemerintahan pusat (Depdiknas), pemerintahan daerah (Dinas), dan tingkatan sekolah. Selain unsur yang berasal dari kelembagaan pemerintah, terdapat pula yang berasal dari organisasi profesi seperti PGRI, ISPI, dan sebaginya. Landasan hukum pembinaan profesional guru terdiri dari Undang-undang Republik Indonesia No 20 tahun 2003 pasal 39 tentang sistem pendidikan nasional, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 19 tentang Standar Nasional Pendidikan dan UU guru dan dosen.
Dengan mengacu kepada peraturan perundangan tersebut, pelaksana pembinaan profesional guru dijabarkan ke dalam bentuk kelembagaan Pemerintah Pusat. Pembinaan profesional pada tingkat Pemerintah Daerah dilaksanaan oleh lembaga/organisasi yang dibentuk berdasarkan ketentuan Dinas Pendidikan Provinsi dan Dinas Pendidikan Kota/Kabupaten yakni Pengawas dan Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP). Secara struktural MGMP tersebut terbagi dalam berbagai tingkatan yang didasarkan pada jenjang pendidikan/sekolah dan jenis mata pelajaran/bidang studi. Berdasarkan jenjang pendidikan terdapat MGMP SMP dan MGMP SMA, sedangkan berdasarkan jenis mata pelajaran untuk jenjang SMP contohnya adalah MGMP Sains/Pengetahuan Alam, MGMP Matematika, MGMP Bahasa Inggris dan sebagainya. Untuk jenjang SMA antara lain MGMP Biologi, MGMP Fisika, MGMP Kimia, MGMP Matematika, MGMP Bahasa Indonesia dan sebagainya. Untuk setiap jenjang dan jenis, secara hierarki MGPM dibagi ke dalam MGMP Pusat, MGMP Wilayah dan MGMP Sekolah. Di tingkat Sekolah Dasar bentuk organisasi yang mengarah ke pembinaan profesional guru adalah Kelompok Kerja Guru (KKG). Pembinaan profesional guru pada tingkat sekolah tempat guru melaksanakan tugas dilakukan oleh Kepala Sekolah dan MGMP sekolah. MGMP Sekolah dalam melakukan pembinaan profesional dilaksanakan dalam bentuk pertemuan periodik untuk mendiskusikan peningkatan kualitas pembelajaran. Kepala Sekolah melakukan pembinaan profesional secara internal dalam bentuk supervisi akademis dan non akademis kepada para guru. Mekanisme Pembinaan Profesional Guru untuk memecahkan permasalahan belum terpenuhinya sebagian aspek persyaratan keprofesionalan guru, diperlukan suatu sistem pembinaan profesional guru secara berkesinambungan. Dalam pasal 39 ayat (2) UU SISDIKNAS dinyatakan bahwa Pendidik merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada msyarakat, terutama bagi pendidik pada perguruan tinggi. Tersuratnya sebutan profesional untuk tenaga pendidik (guru), menuntut harus dipenuhinya berbagai persyaratan profesional oleh guru. Surya (2005) merekomendasikan hal yang harus dilaksanakan dalam rangka mereposisi jabatan guru menjadi jabatan profesional sebagai berikut:
1. Pemerintah harus ada kemauan dan komitmen politik untuk menempatkan posisi guru dalam keseluruhan pendidikan nasional dan memberikan penghargaan sesuai dengan hak dan martabatnya. Penataan kembali berbagai perundang-undangan dan produk hukum yang berkaitan dengan pendidikan, agar lebih sesuai dengan tuntutan yang berkembang. Dalam penataan ini dapat dilakukan perbaikan perundang-undangan yang telah ada, dan menghasilkan produk baru termasuk undangundang khusus tentang guru.
2. Mewujudkan suatu sistem manajemen guru dan tenaga kependidikan lainnya dalam satu institusi yang meiliki kewenangan nasional secara terpadu yang sistematik, sinergik, dan simbiotik. Seluruh aspek manajemen guru yang mencakup antara lain rekrutmen, pendidikan, penempatan, pembinaan, dan pengembangan berada dalam satu sistem pengelolaan tunggal yang profesional dan proporsional. Pengelolaan yang lebih bersifat birokratis harus digeser menjadi pengelolaan yang lebih bersifat “pemberdayaan” dengan suatu mobilitas yang terbuka baik secara vertikal maupun horizontal sesuai dengan kesempatan dan kompetensinya serta memperhitungkan berbagai variabel individual.
3. Pembenahan sistem pendidikan dan pelatihan guru yang lebih fungsional untuk lebih menjamin dihasilkan kualitas profesional guru dan tenaga kependidikan lainnya. Dilihat dari posisi dan perannya, guru memerlukan kompetensi pribadi dan profesi agar mampu mampu melaksanakan proses pendidikan secara mendasar. Oleh karena itu pendidikan dan latihan guru hendaknya lebih berorientasi pada pembentukan dan pemberdayaan kepribadian guru profesional, lingkungan kehidupan pendidikan, dinamika adaptasi yang tinggi, pengembangan dedikasi kependidikan, dsb. Pendidikan guru pada masa kini harus menggunakan strategi yang lebih mengarah pada pembentukan kepribadian dan kompetensi, memiliki keterkaitan dengan lingkungan dan kebutuhan.
4. Pengembangan satu sistem remunerasi (gaji dan tunjangan lainnya) bagi para guru secara adil, bernilai ekonomis, serta memiliki daya tarik sedemikian rupa sehingga merangsang para guru melakukan tugasnya dengan penuh dedikasi dan memberikan kepuasan lahir batin. Sejalan dengan rekomendasi UNESCO/ILO, dalam upaya untuk mewujudkan kesejahteraan guru Indonesia, sistem penggajian guru harus dibangun sebagai satu kulminasi kesatuan berbagai variabel yang saling terkait yaitu: (1) jenjang pendidikan tempat guru bertugas, (2) tingkat pendidikan, (3) pengalaman/masa kerja, (4) beban kerja, (5) kreativitas, (6) lokasi atau lingkungan kerja, (7) kepangkatan.
Rekomendasi tersebut mengisyaratkan bahwa dalam usaha mereposisi guru ke posisi jabatan profesional harus dilakukan melalui manajemen terpadu yang melibatkan berbagai unsur dan memperhatikan berbagai variabel yang berpengaruh, serta dilakukan secara berkelanjutan. Sejalan dengan hal tersebut, maka dalam membina profesionalisme guru IPA juga harus dilakukan secara terpadu dengan melibatkan berbagai komponen baik komponen struktural maupun non-struktural dan dilaksanakan secara berkelanjutan. Arah pembinaan guru IPA ditekankan kepada pencapaian kemampuan dan keterampilan melaksanakan pembelajaran IPA yang meliputi penggunaan: 1) open-ended inquiry, 2) collaborative learning, 3) active participation during lecture, 4) in cooperation of relevan material and 5) integration of the laboratory experiences with the lectur material (Wagner, 2001).
Komponen-komponen tersebut merupakan indikator keprofesionalan guru yang menjadi tolok ukur keberhasilan proses pembinaan. Membina profesionalisme guru berarti praktek profesional dari supervisor dan organisasi profesi untuk membantu guru dalam mencapai indikator tersebut di atas. Guru yang menunjukkan indikator seperti di tersebut di atas dalam melaksanakan pembelajaran diharapkan akan menjadi jaminan mutu pendidikan (science education quality assurance). Manejemen pembinaan profesional guru dilakukan dengan pendekatan TQM yang mendudukan setiap orang sebagai manajer dalam posisinya dan semua komponen terlibat di dalamnya (Sallis, 1993). Berdasarkan prinsip TQM, dalam pelaksanaan pembinaan profesional guru diarahkan harus terjadi tarnsformasi budaya dari budaya tradisional ke budaya mutu (cultural change), serta proses perbaikan/peningkatan dilaksanakan secara berkesinambungan (continuous improvement).
Sebagai contoh program penataran guru untuk kemampuan guru dalam menguasai bahan ajar (content) seharusnya dilaksanakan secara terencana dengan tujuan yang jelas dan metode sesuai. Apabila kegiatan penataran ini dilakukan asal tugas penyelenggaraan selesai tidak akan berdampak pada peningkatan kemampuan guru-guru tersebut. Dalam kaitan ini budaya “asal selesai” seharusnya diubah kepada budaya “penyelenggaraan berkualitas” untuk membina profesionalisme guru telah tersedia berbagai lembaga atau organisasi profesi baik di tingkat pusat maupun daerah. Lembaga/organisasi tersebut dipersiapkan Pusat dan Daerah untuk membantu para guru dalam meningkatkan kemampuan dan keterampilan mengajar. Komponen-komponen tersebut dapat dibagai menjadi dua kategori yaitu, kategori struktural dan kategori non-struktural. Komponen Pembina yang termasuk kategori struktural antara lain Kepala Sekolah, Pengawas, LPMP, P4TK. Sedangkan yang termasuk kategori non-struktural antara lain MGMP, KKG, PGRI, dan lain-lain.



PROGRAM PEMBINAAN PROFESIONALISME GURU IPA
A. TINGKAT PUSAT
Program pembinaan profesionalisme guru ditingkat pusat dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan (PMPTK) Departemen Pendidikan Nasional yang memiliki fungsi:
1. Penyiapan perumusan kebijakan departemen di bidang peningkatan mutu pendidik dan tenaga kependidikan;
2. Pelaksanaan kebijakan di bidang peningkatan mutu pendidik dan tenaga kependidikan;
3. Penyusunan standar, norma, pedoman, kriteria, dan prosedur di bidang peningkatan mutu pendidik dan tenaga kependidikan;
4. Pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang peningkatan mutu pendidik dan tenaga kependidikan;
5. Pelaksanaan urusan administrasi Direktorat Jenderal.
Dalam menjalankan fungsinya tersebut PMPTK memiliki Visi : terwujudnya Pendidik dan Tenaga Kependidikan yang Profesional dan Bermartabat
dan Misi : meningkatkan mutu pendidik dan tenaga kependidikan melalui kualifikasi, kompetensi dan sertifikasi untuk membangun suasana belajar dan proses pembelajaran sehingga peserta didik secara aktif dapat mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Program pembinaan profesionalisme guru ditingkat pusat dijabarkan oleh Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik Dan Tenaga Kependidikan IPA (P4TK IPA) yang memiliki fungsi :
1. merencanakan program pengembangan penataran guru;
2. melaksanakan teknis pendidikan untuk meningkatkan mutu kompetensi guru;
3. melaksanakan pengembangan penataran guru;
4. melaksanakan peningkatan cara penyajian dan materi penataran;
5. melaksanakan pengendalian dan evaluasi penataran guru;
6. melaksanakan urusan tata usaha dan rumah tangga P4TK IPA.
Dalam melaksanakan fungsinya P4TK IPA memiliki Visi : Terwujud Pendidik dan Tenaga Kependidikan IPA yang Profesional, Bermartabat dan Berwawasan Global dan Misi : (1) pengembangan model-model diklat berbasisi Riset dan Kepakaran bagi Pendidik dan Tenaga Kependidikan; (2) pengembangan Bahan dan Media Diklat Berbasis Riset dan Kepakaran bagi Pendidik dan Tenaga Kependidikan IPA; (3) penyelenggaraan layanan diklat secara prima bagi Pendidik dan Tenaga Kependidikan IPA.; (4) sosialisasi Produk-produk inovasi Pendidikan IPA melalui Forum Nasional dan Internasional; (5) pengembangan Jejaring Kerja dalam upaya peningkatan profesionalitas Pendidik dan Tenaga Kependidikan IPA secara Nasional dan Internasional; (6) pengembangan kualitas dan Kuantitas SDM P4TK IPA; (7) Peningkatan sarana dan prasarana P4TK IPA; (8) Pelaksanaan dalam Ketatausahaan dan Rumah tangga Lembaga.

B. TINGKAT PROVINSI
Program pembinaan profesionalisme guru ditingkat Provinsi dilaksanakan oleh LPMP atau Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan yang berada dibawah Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan, Departemen Pendidikan Nasional yang berada di Provinsi. LPMP dikembangkan berdasarkan Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 087/O/2003 tanggal 4 Juli 2003. Adapun Tugas Pokok LPMP adalah melaksanakan Penjaminan Mutu Pendidikan Dasar dan Menengah di provinsi berdasarkan kebijakan nasional dan memiliki fungsi :
1. Pengukuran dan evaluasi pelaksanaan pendidikan dasar dan menengah
2. Perancangan model-model pembelajaran di sekolah sesuai dengan kebutuhan provinsi dan standar mutu nasional
3. Fasilitasi lembaga pendidikan dalam proses pembelajaran dan evaluasi hasil belajar
4. Fasilitasi lembaga pendidikan dalam pengelolaan sumber daya pendidikan
5. Fasilitasi pelaksanaan peningkatan kompetensi dan profesionalisme pendidik dan tenaga kependidikan
6. Pengembangan dan pengelolaan sistem informasi mutu pendidikan
7. Pelaksanaan urusan perencanaan, keuangan, kepegawaian, ketatalaksanaan dan kerumahtanggaan lembaga

C. TINGKAT KABUPATEN
Program pembinaan profesionalisme guru ditingkat Kabupaten dilaksanakan Musyawarah Guru Mata Pelajaran IPA (MGMP-IPA) Tingkat Kabupaten. Keterlibatan guru dalam penyusunan KTSP telah menuntut kreativitas berpikir guru mata pelajaran dalam menyusun kurikulum (silabus dan rencana pembelajarn) meliputi; pengembangan tujuan, materi, metode dan evaluasi, pembelajaran yang cocok, untuk dikembangkan sesuai dengan kondisi sosial dan budaya lingkungan sekolah masing-masing. Selama ini fungsi kegiatan MGMP-IPA dipandang kurang efektif dan dianggap hanya buang-buang waktu. Pandangan ini dipertegas dengan adanya beberapa kasus disuatu sekolah bahwa seorang guru tidak diizinkan atau dipersulit untuk mengikuti kegiatan MGMP-IPA, karena pihak sekolah menganggap MGMP-IPA tidak penting, hanya pemborosan biaya dan mengganggu kegiatan belajar siswa di sekolah. Dipihak lain dana bantuan pemerintah sangat terbatas untuk membiayai kegiatan MGMP-IPA.
Pandangan semacam itu bukan hanya bahan evaluasi bagi pihak sekolah dan pemerintah dalam mendorong dan menyuntikkan dana lebih besar lagi guna meningkatkan fungsi dan efektivitas kegiatan MGMP-IPA, namun harus menjadi bahan pemikiran adalah mengapa selama ini MGMP-IPA dianggap kegiatan buang-buang waktu dan pemborosan dana. Kenyataan ini tentu harus diselesaikan dengan menggiring MGMP-IPA menjadi sebuah kegiatan kelompok profesional yang menyikapi permasalahan-permasalahan pendidikan secara khusus dalam kegiatan pembelajaran pada setiap mata pelajaran dan secara umum permasalahan pendidikan yang ada di masyarakat. Untuk menuju ke arah sana hendaknya kegiatan MGMP-IPA tidak dilakukan secara monoton sebagai pertemuan menyusun silabus dan skenario pembelajaran, karena kegiatan semacam ini dapat dilakukan oleh guru masing-masing di sekolah. Lebih penting dalam setiap pertemuan guru harus mendapatkan suatu hal yang baru tentang pendidikan, khususnya dalam mata pelajaran yang digeluti. Hal-hal baru tersebut di zaman sekarang tidak sulit dicari, dengan mengakses internet banyak sekali bahan-bahan yang dapat didiskusikan dalam setiap pertemuan MGMP-IPA. Guna mengatur semua itu, setiap guru anggota MGMP-IPA dapat ditugaskan untuk presentasi hasil penelitian, makalah, artikel, pengalaman mengajar dalam menerapkan suatu metode tertentu, pengembangan materi yang sudah dilakukan oleh guru mata pelajaran di sekolahnya masing-masing,

METODE PEMBINAAN PROFESIONALISME GURU IPA
1. Kunjungan Kelas/Observasi Kelas
Kunjungan kelas atau observasi kelas merupakan teknik yang sangat efektif untuk mengetahui pelaksanaan proses belajar mengajar berlangsung. Dengan metode ini dapat diketahui berbagai aspek profesional yang berkaitan dengan pembalajaran. Teknik ini dapat juga dikembangkan sebagai bentuk teaching audit. Kunjungan kelas dapat dilakukan oleh guru senior (guru inti), kepala sekolah ataupun juga pengawas sekolah. Setelah kunjungan kelas dapat ditindaklanjuti dengan pertemuan pribadi (pertemuan empat mata) untuk membahas masalah-masalah yang ditemukan di kelas serta mencari solusi terbaik dari masalah tersebut.

2. Rapat Dewan Guru
Rapat dewan guru merupakan salah satu bagian dari teknik pembinaan profesionalisme guru. Dengan rapat dewan guru dapat diketahui permasalahan-permasalahan yang dihadapi oleh semua guru sehingga akan memudahkan guru IPA dalam mengidentifikasi masalah serta mencari solusinya. Dalam rapat dewan guru juga dapat dipakai sebagai ajang tukar pikiran terutama bagi guru mata pelajaran yang serumpun (guru Fisika, guru Kimia, Guru Biologi dan juga guru Matematika) serta membahas keterkaitan antara satu mata pelajaran dengan mata pelajaran lainnya.



3. Studi Banding (Kunjungan lintas sekolah/daerah)
Studi banding sangat tepat dilakukan guru dalam rangka untuk mengetahui metode dan teknik pembelajaran guru IPA di sekolah lain. Selain itu juga dapat mengetahui kegiatan-kegiatan yang menunjang proses belajar mengajar diantaranya pengelolaan laboratorium IPA dan perpustakaan.

4. Pengawas Guru Mata Pelajaran
Dalam rangka pembinaan profesionalisme guru secara formal dilakukan oleh pengawas sekolah (pengawas mata pelajaran). Untuk menjadi pengawas mata pelajaran hendaknya memiliki latar belakang dan pengalaman yang sesuai dengan mata pelajaran yang akan menjadi bidang pembinaannya. Ada beberapa tugas pengawas guru IPA sebagai bagian pembinaan prosesioanlisme guru antara lain : (1) mengupayakan agar guru IPA lebih bersungguh-sungguh dan bersemangat dalam mengajar; (2) mengupayakan agar sistem pengajaran ditata sehingga prinsip belajar tuntas tercapai; (3) mengupayakan agar dalam menjalankan tugasnya guru tidak mendapatkan tekanan; (4) membuat kesepakatan dengan guru IPA dan kepala sekolah tentang targer out put yang harus dicapai; dan (5) melakukan pemantauan dan penilaian secara periodik terhadap keberhasilan mengajar guru.

4. Buletin Pendidikan IPA
Buletin Pendidikan IPA sebagai salah satu sarana informasi bagi pengembangan pengetahuan guru-guru IPA. Melalui buletin/jurnal pendidikan IPA guru dapat memperoleh informasi-informasi terbaru hasil penelitian tentang mata pelajaran IPA. Guru juga dapat mempublikasikan hasil-hasil karyanya kedalam buletin agar dapat dibaca dan dikritisi oleh pihak-pihak yang kompeten.

5. Pemanfaatan ICT
IPA adalah mata pelajaran yang erat kaitannya dengan perkembangan IPTEK, sehingga guru IPA-pun harus melek teknologi. Pada masa kini guru IPA hendaknya memanfaatkan teknologi dalam pembelajarannya, karena jika tidak maka guru akan ketinggalan informasi dibandingkan siswa yang sangat familier dengan informasi dan teknologi. Untuk mendukung pengembangan profesiolisme guru sebaiknya guru IPA juga harus memiliki : e-mail, facebook, blog dan lainnya. Guru juga dapat bergabung dengan komunitas sokoguru, HFI atau lainnya. Dalam hal menambah wawasan guru IPA juga memanfaatkan sumber-sumber online antara lain: www.e-dukasi.net, www.colorado.edu, www.windows. ucar.edu, planetary.org, spaceweather.com, howstuffworks.com.

6. Penataran/Pelatihan Pendidikan IPA
Penataran atau pelatihan pendidikan IPA biasanya dilakukan sebagai upaya penyegaran bagi guru-guru IPA yang dalam pelaksanaannya dapat mengkombinasikan antara materi akademis dengan pengalaman lapangan. Penataran adalah cara efektif untuk mensosialisasikan dan menerapkan hasil inovasi baru dalam pendidikan IPA.

7. MGMP Pendidikan IPA
MGMP IPA adalah suatu forum atau wadah kegiatan profesional guru IPA di sanggar ataupun di masing-masing sekolah yang terdidiri dari dua unsur yaitu musyawarah dan guru mata pelajaran (IPA). MGMP IPA berfungsi sebagai sarana komunikasi, konsultasi dan tukar pengalaman. Wadah komunikasi ini sangat diperlukan dalam memberikan kontribusi pada peningkatan profesionalisme guru IPA.

8. Penelitian Tindakan Kelas
Penelitian Tindakan Kelas adalah bagian penting dalam upaya pembinaan profesinal guru IPA. Penelitian Tindakan Kelas berorientasi pada pemecahan masalah pembelajaran yang menggunakan siklus-siklus berspiral dari identifikasi masalah, analisis masalah (pemilihan masalah yang urgen), perumusan masalah yang layak untuk ditindaki. Setelah itu, dapat dirumuskan hipotesis tindakan, diikuti dengan perencanaan dan pelaksanaan tindakan, pengumpulan data yang sistematik, analisis, evaluasi dan refleksi. Selanjutnya, dari hasil refleksi akan ditentukan apakah perlu dilakukan tindakan dalam siklus berikutnya. Pada umumnya rencana kedua tidak sama dengan rencana tindakan pertama atau dilakukan penyempurnaan rencana sebelumnya berdasarkan hasil refleksi siklus sebelumnya. Akhirnya penentuan kembali masalah pembelajaran. Tujuan penelitian tindakan kelas bukanlah untuk menemukan pengetahuan baru yang dapat diberlakukan secara meluas. Tujuan penelitian tindakan adalah untuk memperbaiki praksis secara langsung, di sini dan sekarang (Raka Joni,1998).

9. Peran LPTK
Tuntutan terhadap lulusan lembaga pendidikan yang bermutu semakin dirasakan mendesak karena semakin ketatnya persaingan dalam lapangan kerja. Salah satu implikasi globalisasi dalam pendidikan yaitu adanya deregulasi yang memungkinkan peluang lembaga pendidikan (termasuk perguruan tinggi asing) membuka sekolahnya di Indonesia. Oleh karena itu persaingan antar lembaga pendidikan akan semakin berat. Pengertian ”mutu” terkadang sudah direduksi dengan berkiblat kepada orientasi terhadap kekuatan dominan tertentu, karena adanya persaingan tersebut. Mereka yang hadir di kemudian, dituntut bersaing dengan mereka yang terlebih dahulu ada bahkan sudah lebih maju. Apa mungkin?
Mengantisipasi perubahan-perubahan yang begitu cepat serta tantangan yang semakin besar dan kompleks, tiada jalan lain bagi LPTK untuk mengupayakan cara-cara untuk meningkatkan daya saing lulusan serta produk-produk akademik lainnya, yang antara lain dicapai melalui revitalisasi peran ilmu pendidikan dalam rangka peningkatan mutu LPTK. Peningkatan mutu LPTK pada akhirnya juga akan meningkatkan profesioanalisme guru yang notabene adalah out put dari LPTK tersebut.


KESIMPULAN
Dari hasil pembahasan diatas dapat kita simpulkan bahwa dalam rangka meningkatkan profesioanlisme guru mata pelajaran IPA ada beberapa hal yang perlu kita perhatikan antara lain :
1. Bahwa guru adalah pekerjaan profesional yang harus disadari oleh guru itu sendiri.
2. Pekerjaan profesional harus ditunjang oleh latar belakang pendidikan yang sesuai dan menekankan pada keahlian pada bidang tertentu.
3. Guru perlu diberi kebebasan dalam mengelola proses belajar mengajar dan harus bebas dari tekanan dan kepentingan yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
4. Guru perlu diberi kebebasan dalam mengikuti kegiatan-kegiatan yang dapat meningkatkan profesionalisme-nya seperti MGMP, seminar, dan lainnya.
5. Dalam rangka peningkatan profesionalisme, guru IPA harus melek teknologi (technology literacy).

DAFTAR PUSTAKA
Cooper, J.M. (1990). Classroom Teaching Skills. Lexinton: D.C. Heath and Company.
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 16 Tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru yang meliputi Guru TK/RA, Guru SD/MI,Guru SMP/MTs, Guru SMA/MA dan Guru SMK/MAK untuk kelompok mata pelajaran normatif dan adaptif
Peraturan Pemerintah R.I. No. 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan
Raka Joni, T. (1998). Penelitian Tindakan Kelas. Bagian Kedua : Prosedur Pelaksanaan. Jakarta : Proyek Pengembangan Guru Sekolah Menengah, Ditjen Dikti.
Sallis, E. (1993).Total Quality Management in Education. London: Kogan Page Limited
Satori, D. (1983).Pelayanan Profesional Bagi Guru-guru. Bandung: Pustaka Martiana
Satori, D. (2001).Pengawasan Pendidikan Di Sekolah. Bandung: Makalah tidak dipublikasikan, Bandung.
Surya, M. (2005). Profesi Guru Dalam Kenyataan dan Harapan. Makalah Semiloka Nasional Profesionalisasi Pendidik dan Tenaga Kependidikan. Bandung: FIP-UPI
Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.
Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 tahun 2003. Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: CV Cemerlang
Wagner, E. (2001).Development and Evaluation of a Standards-Based Approach to Instruction in General Chemistry. Elektronic Journal of Science Education Vol. 6 No.1

Selasa, 27 Oktober 2009

MODEL PEMBELAJARAN MULTIMEDIA INTERAKTIF RELATIVITAS KHUSUS UNTUK MENINGKATKAN KETERAMPILAN BERPIKIR KRITIS SISWA SMA

Pendahuluan

Fisika merupakan salah satu cabang IPA yang mendasari perkembangan teknologi maju dan konsep hidup harmonis dengan alam. Perkembangan pesat di bidang teknologi informasi dan komunikasi dewasa ini dipicu oleh temuan di bidang fisika material melalui penemuan piranti mikroelektronik yang mampu memuat banyak informasi dengan ukuran sangat kecil. Sebagai ilmu yang mempelajari fenomena alam, fisika juga memberikan pelajaran yang baik kepada manusia untuk hidup selaras berdasarkan hukum alam. Pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan serta pengurangan dampak bencana alam tidak akan berjalan secara optimal tanpa pemahaman yang baik tentang fisika. Pembelajaran fisika dilaksanakan secara inkuiri ilmiah untuk menumbuhkan kemampuan berpikir, bekerja dan bersikap ilmiah serta berkomunikasi sebagai salah satu aspek penting kecakapan hidup (PermendiknasNo. 22 Tahun 2006).

Topik relativitas khusus merupakan salah satu materi yang diajarkan di SMA kelas XII semester 2. Salah satu permasalahan yang dihadapi oleh guru fisika dalam pembelajaran teori relativitas khusus adalah penguasaan konsep yang dicapai siswa masih rendah. Menurut hasil penelitian Ding (2006) dalam Budiman (2008) tentang perbaikan pengajaran dan pembelajaran pada fisika modern dengan strategi kontemporer, konten dari fisika modern terdiri dari tiga bagian yaitu fisika kuantum, teori relativitas, dan fisika inti yang semuanya penuh dengan deengan konsep yang bersifat abstrak.

Berdasarkan studi pendahuluan diperoleh hasil bahwa pembelajaran topik relativitas khusus dilakukan oleh guru dengan metode ceramah, yang menyebabkan siswa sulit dalam memahami konsep-konsep relativitas khusus yang bersifat abstrak. Agar konsep-konsep relativitas khusus yang abstrak mudah dipahami oleh siswa perlu adanya inovasi-inovasi dalam pembelajaran fisika (Wiyono, 2008). Salah satu inovasi pembelajaran fisika yaitu dengan pengintegrasian teknologi informasi dan komunikasi dalam bentuk multimedia interaktif. Budiman (2008) telah melakukan penelitian yang hasilnya menyatakan bahwa konsep-konsep yang bersifat abstrak seperti dualisme gelombang partikel dapat dipahami oleh siswa dengan bantuan model pembelajaran multimedia interaktif.

Pada proses pembelajaran perlu dikembangkan keterampilan berpikir yang merupakan suatu aktivitas mental untuk memperoleh pengetahuan. Berdasarkan prosesnya berpikir dapat dikelompokkan kedalam berpikir dasar dan berpikir kompleks. Proses berpikir kompleks yang disebut berpikir tingkat tinggi mencakup empat macam, yaitu pemecahan masalah, pengambilan keputusan, berpikir kritis dan berpikir kreatif (Costa, 1985).

Keterampilan berpikir kritis termasuk salah satu keterampilan berpikir tingkat tinggi. Keterampilan berpikir kritis secara esensial merupakan keterampilan menyelesaikan masalah (problem solving). Menurut Ennis berpikir kritis adalah kemampuan bernalar dan berpikir reflektif yang diarahkan untuk memutuskan hal-hal yang meyakinkan untuk dilakukan (Costa 1985). Norris dan Ennis dalam Stiggin (1994) menyatakan bahwa berpikir kritis merupakan berpikir masuk akal dan reflektif yang difokuskan pada pengambilan keputusan tentang apa yang dilakukan atau diyakini. Masuk akal berarti berpikir berdasarkan atas fakta-fakta untuk menghasilkan keputusan yang terbaik. Reflektif artinya mencari dengan sadar dan tegas kemungkinan solusi yang terbaik. Untuk dapat mengembangkan keterampilan berpikir kritis pada pembelajaran konsep-konsep fisika yang bersifat abstraks perlu bantuan teknologi informasi Teknologi informasi dalam pendidikan diaplikasikan dalam bentuk multimedia berupa perangkat lunak (software), yang memberikan fasilitas kepada siswa untuk mempelajari suatu materi. Penggunaan aplikasi multimedia dalam pembelajaran akan meningkatkan efisiensi, motivasi, serta memfasilitasi belajar aktif, belajar eksperimental, konsisten dengan belajar yang berpusat pada siswa, dan memandu pebelajar untuk belajar lebih baik.

Hasil-hasil penelitian yang relevan antara lain model pembelajaran hipermedia pada materi induksi magnetik dapat meningkatkan penguasaan konsep fisika dan dapat meningkatkan keterampilan generik sains guru serta memberikan tanggapan yang baik terhadap model pembelajaran hipermedia materi pokok induksi magnetik (Setiawan dkk, 2007). Model pembelajaran berbasis multimedia berpengaruh terhadap peningkatan hasil belajar fisika dengan rata-rata gain kelas eksperimen lebih unggul sebesar 4,73 terhadap rata-rata gain kelas kontrol sebesar 3,19. perbedaan tersebut signifikan pada taraf nyata 0,05 dengan probabilitas 0,00 dengan t­­hitung sebesar 4,064 yang lebih besar dibandingkan dengan ttabel sebesar 2,060 (Wiendartun dkk, 2007). Penggunaan Teknologi dalam pembelajaran fisika (Physics Education Technology/PhET) lebih produktif dibandingkan dengan metode tradisional seperti ceramah dan demonstrasi (Finkelstein, 2006). Simulasi PhET untuk mekanika kuantum membantu kesulitan mahasiswa memahami mekanika kuantum yang menurut mahasiswa sulit karena bersifat abstrak (McKagan, 2007). Penggunaan program fisika yang berbasis web secara signifikan efektif pada skor-skor perbedaan rata-rata pretest dan posttest FCI siswa sekolah menengah dan meningkatkan prestasi mereka dalam memahami konsep gaya dan gerak (Damirci, 2007).

Berdasarkan uraian di atas, maka dipandang perlu dilakukan suatu penelitian mengenai penggunaan model pembelajaran berbasis multimedia interaktif untuk meningkatkan keterampilan berpikir kritis siswa SMA pada topik relativitas khusus. Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Bagimanakah perbandingan peningkatan keterampilan berpikir kritis siswa antara yang mendapatkan pembelajaran dengan model pembelajaran fisika multimedia interaktif relativitas khusus dengan yang mendapatkan pembelajaran dengan model konvensional?” Penelitian ini bertujuan untuk mengkontruksi model pembelajaran multimedia interaktif relativitas khusus dan menguji penggunaannya pada pembelajaran materi relativitas khusus di SMA untuk melihat efektivitasnya dalam meningkatkan keterampilan berpikir kritis siswa SMA.

Metode dan Desain Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode eksperimen kuasi. Eksperimen kuasi digunakan untuk mengetahui perbandingan peningkatan penguasaan konsep, keterampilan generik sains dan berpikir kritis siswa yang menggunakan model pembelajaran multimedia interaktif relativitas khusus dengan model konvensional. Desain penelitian yang digunakan adalah nonequivalent control group design (Sugiyono, 2008). Instrumen yang digunakan yaitu (1) tes keterampilan generik sains yang berbentuk pilihan ganda, (2) angket untuk mengetahui tanggapan siswa dan guru. Pengolahan data dilakukan dengan menghitung skor gain ternormalisasi dan uji perbedaan dua rerata dengan menggunakan SPSS14, sedangkan data angket berupa skala kualitatif dikonversi menjadi skala kuantitatif.

Hasil dan Pembahasan

1. Peningkatan Keterampilan Berpikir Kritis Relativitas Khusus

Peningkatan keterampilan berpikir kritis siswa dinilai dari jawaban tes awal dan tes akhir setelah mengikuti pembelajaran. Indikator keterampilan berpikir kritis yang diteliti meliputi mengidentifikasi hal yang relevan, mendefinisikan materi subyek, menggunakan strategi logis, menemukan persamaan dan perbedaan, melaporkan berdasarkan pengamatan. Hasil penilian keterampilan berpikir kritis berupa skor yang kemudian dihitung persentasenya.

Berdasarkan perolehan data skor rata-rata tes awal, tes akhir dan N-gain pada Tabel 4.3 diketahui bahwa skor rata-rata tes awal siswa kelas eksperimen sebesar 43,8 % dari skor ideal, sementara skor rata-rata tes awal siswa kelas kontrol sebesar 44,1 % dari skor ideal. Selanjutnya berdasarkan perolehan data skor rata-rata tes akhir pada kedua kelas diketahui bahwa skor rata-rata tes akhir kelas eksperimen sebesar 90,8 % dari skor ideal, sementara perolehan rata-rata skor tes akhir kelas kontrol sebesar 70,1 % dari skor ideal. Perolehan rata-rata N-gain untuk kelas eksperimen sebesar 0,85 dan kelas kontrol sebesar 0,45. Rata-rata N-gain untuk kelas eksperimen termasuk kategori tinggi dan rata-rata N-gain untuk kelas kontrol termasuk kategori sedang. Dengan demikian Rata-rata N-gain untuk kelas eksperimen lebih tinggi dari rata-rata N-gain kelas kontrol.

Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa perolehan N-gain pada kelas eksperimen tertinggi terjadi pada indikator menemukan persamaan dan perbedaan yaitu sebesar 0,98 dengan kategori tinggi dan terendah terjadi pada indikator mendefinisikan materi subyek sebesar 0,40 dengan kategori sedang, sementara pada kelas kontrol N-gain tertinggi terjadi pada indikator melaporkan berdasarkan pengamatan yaitu sebesar 0,51 dengan kategori sedang dan terendah terjadi pada indikator menemukan persamaan dan perbedaan sebesar 0,10 dengan kategori rendah. Dari analisis dapat diketahui peningkatan N-gain berpikir kritis siswa kelas eksperimen lebih tinggi dibandingkan kelas kontrol.

Berdasarkan persentase perolehan skor keterampilan berpikir kritis tes awal pada kelas eksperimen tertinggi terjadi pada indikator mendefinisikan materi subyek sebesar 63,5 % dan terendah terjadi pada indikator menggunakan strategi logis sebesar 25,0 % sedangkan pada kelas kontrol persentase perolehan skor tes awal tertinggi terjadi pada indikator mendefinisikan materi subyek sebesar 75,0 % dan terendah terjadi pada indikator menggunakan strategi logis sebesar 14,4 %.

Persentase perolehan skor peningkatan keterampilan berpikir kritis tes akhir pada kelas eksperimen tertinggi terjadi pada indikator menemukan persamaan dan perbedaan sebesar 98,7 % dan terendah terjadi pada indikator menggunakan strategi logis sebesar 85,6 % sedangkan pada kelas kontrol prosentase perolehan skor tes akhir tertinggi terjadi pada indikator mendefinisikan materi subyek sebesar 86,5 % dan terendah terjadi pada indikator menggunakan strategi logis sebesar 52,9 %. Dengan demikian persentase peningkatan keterampilan berpikir kritis setiap indikator setelah dilakukan tes akhir pada kelas eksperimen dan kelas kontrol mengalami peningkatan.

Uji normalitas distribusi data berpikir kritis siswa kelas eksperimen dan kelas kontrol dilakukan dengan menggunakan One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test. Diperoleh hasil bahwa data berdistribusi normal pada signifikansi masing-masing 0,540 untuk kelas eksperimen dan 0,589 untuk kelas kontrol. Uji homogenitas varian data berpikir kritis siswa kelas eksperimen dan kelas kontrol dengan menggunakan Levene Tes (Test of Homogeneity of Variances) diperoleh hasil bahwa varian data homogen pada signifikansi 0,946. Setelah diperoleh data peningkatan keterampilan berpikir kritis berdistribusi normal dan homogen maka selanjutnya dilakukan uji statistik parametrik (uji t dengan α = 0,005). Dengan menggunakan Independent Samples Test diperoleh hasil bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara peningkatan keterampilan berpikir kritis kelas eksperimen dan kelas kontrol berdasarkan nilai t = 5,738. Berdasarkan analisis dari uji t dapat disimpulkan bahwa peningkatan keterampilan berpikir kritis kelas eksperimen lebih baik daripada peningkatan keterampilan berpikir kritis kelas kontrol.

Berdasarkan sebaran angket yang diberikan kepada guru, diketahui bahwa guru memberikan tanggapan baik terhadap model pembelajaran multimedia interaktif relativitas khusus. Model pembelajaran multimedia interaktif mempermudah guru dalam mengajarkan materi relativitas khusus yang bersifat abstrak serta dapat meningkatkan penguasaan konsep, keterampilan generik sains dan berpikir kritis siswa.

Berdasarkan sebaran angket yang diberikan kepada siswa, diketahui bahwa indikator yang menunjukkan perasaan senang terhadap fisika dengan multimedia interaktif, ketertarikan terhadap tampilan dan fasilitas dalam multimedia interaktif, kesungguhan dalam belajar topik relativitas khusus dengan multimedia interaktif dan kesungguhan dalam mengerjakan soal yang di berikan melalui multimedia interaktif semuanya menunjukkan prosentase yang tinggi.

Tanggapan baik yang dikemukakan oleh guru dan siswa disebabkan karena fungsi dari multimedia interaktif dalam dunia pendidikan, sebagai perangkat lunak (sofware) pembelajaran, yang memberikan fasilitas kepada siswa untuk mempelajari suatu materi. Multimedia memiliki keistimewaan diantaranya adalah (1) interaktif dengan memberikan kemudahan umpan balik; (2) kebebasan menentukan topik pembelajaran; (3) kontrol yang sistematis dalam proses belajar (Munir, 2008)

Kesimpulan

Peningkatan keterampilan berpikir kritis siswa yang menggunakan model pembelajaran multimedia interaktif secara signifikan lebih tinggi dibandingkan dengan siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional. Rata-rata N-gain keterampilan berpikir kritis siswa kelas eksperimen 0,85 (kriteria tinggi) dan kelas kontrol 0,45 (kriteria sedang), menunjukkan bahwa penggunaan multimedia interaktif lebih efektif daripada pembelajaran konvensional. Peningkatan tertinggi keterampilan berpikir kritis kelas eksperimen sebesar 0,98 pada indikator menemukan persamaan dan perbedaan dan terendah sebesar 0,40 pada indikator mendefinisikan materi subyek. Guru dan siswa memberikan tanggapan baik terhadap model pembelajaran multimedia interaktif relativitas khusus. Berdasarkan hasil penelitian disarankan agar dilakukan penelitian tentang model pembelajaran multimedia interaktif lainnya terutama untuk materi-materi fisika modern yang jarang dilakukan eksperimen oleh guru fisika di SMA misalnya inti atom dan radioaktivitas

Rabu, 01 April 2009

Pembelajaran berbassis mmi

Multimedia Interaktif
Menurut Arsyad, 2006 dalam Darmadi, 2007 multimedia diartikan sebagai lebih dari satu media. Ini bisa berupa kombinasi antara teks, grafik, animasi, suara, dan video, yang mana perpaduan dan kombinasi dua atau lebih jenis media ditekankan pada kendali komputer sebagai penggerak keseluruhan gabungan media itu.
Sedangkan Haffos (Fieldmen, 2001) mengartikan multimedia sebagai suatu sistem komputer yang terdiri dan hardware dan software yang memberikan kemudahan untuk menggabungkan berbagai komponen seperti gambar, video, grafik, animasi, suara, teks, dan data yang dikendalikan dengan program komputer (Munir, 2001).
Berikut ini merupakan uraian mengenai elernen-elemen multimedia (Karyadinata, 2006):
a. Teks
Teks merupakan simbol kata atau kalimat yang berfungsi menjelaskan tentang isi dan materi multimedia. Kebutuhan teks bergantung pada kegunaan aplikasi multimedia.
b. Gambar
Gambar dalam multimedia dapat berupa foto, gambar ilustrasi, dan gambar hasil sketsa tangan. Gambar-gambar tersebut mempunyai peran dalam menyampaikan informasi.
c. Grafik
Grafik dalam multimedia juga berfungsi sebagai penyampai informasi yang berhubungan dengan fakta, data statistik, dan gagasan-gagasan dalam matematika
d. Suara
Dengan menggunakan suara aplikasi lebih terintegrasi, pemakai dapat merasakan kenyamanan terhadap suara yang mewakili aplikasi tersebut sehingga suatu informasi dapat disampaikan lebih cepat.
e. Video
Video dapat diambil dan kejadian sebenarnya yang direkam, yang berguna untuk menambah daya tarik dan memperjelas informasi yang akan disampaikan.
f. Animasi
Animasi dapat diartikan sebagai subyek yang bergerak, animasi berguna untuk mensimulasikan konsep tentang hal-hal yang melihatkan gerakan. Misalnya pergerakan kerangka acuan dalam gerak.
g. Interaktif
lnteraktif adalah adanya komunikasi antara pengguna dengan komponen yang terdapat di dalam komputer. Komunikasi dapat melalui keyboard, mouse, atau alat input lainnya. Dalam hal ini pengguna dapat memilih apa yang akan dikerjakan selanjutnya, bertanya dan mendapatkan jawaban yang mempengaruhi komputer untuk mengerjakan fungsi selanjutnya.